Wednesday, October 5, 2011

Growing Out Of The Problem

Bertumbuh Dari Masalah
Itulah ungkapan yang dilontarkan oleh Mohammad Risa Solihin, mengilustrasikan bagaimana
kasih karunia Tuhan yang begitu besar baginya. Meski dirinya terbilang sebagai orang yang
sangat jauh dari Tuhan dan kekristenan, Tuhan memanggilnya sebagai hamba Tuhan dan
mempercayakan banyak hal yang sangat berharga.

Dilahirkan dan dibesarkan sebagai pria di tengah keluarga non-Kristen, Risa, demikian ia
akrab disapa oleh kerabatnya, tumbuh dan hidup tanpa adanya pegangan iman yang sejati.
Kehidupan bebas dan kecanduan narkoba akhirnya menjadi puncak perjalanannya yang semakin
menjauh dari Tuhan.

'Grand design' kehidupan yang Tuhan rencanakan baginya boleh dibilang sangatlah tidak
mudah untuk dilalui. Bertubi-tubi cobaan dan penolakan serta cercaan harus dihadapinya
demi keputusannya yang kokoh untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya. Kenyataan
pahit harus diterimanya kala dirinya memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Ia ditolak
dan diusir dari kehidupan keluarga besarnya. Orangtua dan saudara-saudaranya tidak mau
mengakuinya lagi.

Lika-Liku Pertobatan
Pada tahun 1989 saat dirinya masih aktif bekerja di dunia sekuler, di sanalah ia
dipertemukan dengan sang pujaan hati, Elsa. Saat itu Risa masih tercatat sebagai seorang
non-Kristen dengan kehidupan yang dihiasi dengan kehidupan malam dan narkoba. Hal yang
tak jauh berbeda juga dilakukan oleh Elsa yang saat itu juga masih belum hidup
sungguh-sungguh di dalam Kristus. Bahkan sejak pertemuan itu, mereka hidup bersama selama
kurang lebih dua tahun, hidup dalam kedagingan. Namun mereka bersyukur, benih pertobatan
itu semakin hari semakin ditumbuhkan oleh Roh Kudus melalui Elsa. Lambat laun atas
dorongan Elsa Risa sang kekasih pergi beribadah ke gereja. Dan berkat bimbingan hamba
Tuhan Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo, setiap minggunya mereka didoakan dan dilayani
secara pribadi. Hasilnya, merekapun boleh dimenangkan oleh Kristus. Lalu mereka
memutuskan untuk hidup bersama secara sah dalam tali pernikahan pada 9 Juni 1991.

Dalam pernikahannyapun pergumulan luar biasa masih menyelimuti hari-hari mereka. Ditolak
oleh orangtua adalah hal yang dirasa paling menyedihkan. Saat menikah, Elsa berstatus
sebagai seorang janda dengan seorang anak berusia lima tahun, bernama Belle Natalia, dari
buah pernikahannya yang pertama. Dengan kehidupan Risa yang masih bergantung pada
narkoba, iman kekristenan yang belum kuat, belum lagi ditambah kondisi keuangan yang
lemah, membuat kehidupan pernikahan mereka sangat kacau. Apalagi beban moral yang harus
diterima Risa sebagai seorang ayah tiri, baginya dibutuhkan suatu adaptasi yang luar
biasa karena waktu itu usianya masih relatif muda, 24 tahun.

Pernikahan Risa dan Elsa bukan diawali dengan sesuatu yang baik. Satu rumah kosong yang
tidak berisi, hanya ditemani dengan satu kantong plastik serta dua pasang pakaian, tidak
punya pekerjaan tetap membuat semakin lengkaplah penderitaan yang harus ditanggungnya
bersama keluarga barunya. Namun, tidak lama kemudian Risapun mendapat pekerjaannya. Di
awal-awal kehidupan bersamanya itu, hubungan antara Risa dengan ’anaknya’ tidaklah
terlalu baik, sebab antara Risa dengan Elsa sendiri membutuhkan proses adaptasi yang
tidak mudah akibat latar belakang yang berbeda.

Dua tahun setelah menikah, Elsa hamil, padahal kondisi mereka saat itu belumlah kokoh.
Pertengkaran, adu mulut, seringkali menghiasi hari-hari mereka. Bahkan pernah suatu saat
ketika marah dan emosi, Risa menginjak kandungan isterinya itu. Untungnya, hal itu tidak
membuat kandungannya mengalami masalah. Anak pertama itupun terlahir dan dinamai Ezra,
namun rencana Tuhan berkata lain, anak yang baru berusia satu hari itu meninggal. ”Dari
peristiwa itu saya menyadari bahwa Tuhan belum mempercayakan keturunan dari darah daging
saya sendiri, karena untuk merawat Belle sendiri saya belum layak. Saat saya kesal kepada
isteri saya, saya melampiaskannya kepada Belle. Walaupun ia belum mengerti apa-apa.”
kenang pria kelahiran 24 Februari 1967 ini dengan sedih kalau mengingat peristiwa itu.

Pada Nopember 1993 saya dan keluarga berada pada kondisi yang sangat buruk. Bahkan
orangtua membujuk untuk meninggalkan Tuhan Yesus dan kembali ke agama saya yang lama.
Namun ajakan itu tidak saya indahkan. Melalui sebuah pujian Pdt. DR. Ir. Niko
Njotorahardjo yang syairnya berbunyi, ”Siapakah aku ini Tuhan, jadi biji mata-Mu?..” hati
Risa diluluhkan dan membuatnya memaksakan diri untuk ikut sebuah persekutuan doa. ”Saat
itu saya tidak bisa berdoa ataupun melayani, tetapi saya mulai bergabung dalam Sekolah
Orientasi Melayani, meski pengaruh narkoba masih belum sepenuhnya saya lepaskan. Dan puji
Tuhan, pada tahun 2000 saya baru bisa bebas dari narkotika.” kata Risa.

Makin Dipulihkan
Keinginannya yang keras untuk hidup sepenuhnya di bawah pimpinan Tuhan, membuat hubungan
di dalam rumah-tangganya semakin dipulihkan, meski tantangan dan pergumulan tidak hilang
begitu saja. Pergumulan yang luar biasa adalah saat adanya kerinduan untuk bisa
mendapatkan anak lagi. Saat kelahiran Ezra, rahim Elsa pecah, sehingga kemungkinan untuk
melahirkan lagi adalah 1:10.000 karena rahim sudah tidak ada. Namun dengan keajaiban
Tuhan, mereka dianugerahi seorang anak bernama Kezia Hanny, meskipun setelah dilahirkan
dia sempat dirawat akibat paru-parunya kemasukan cairan. Berkat pertolongan Tuhan, anak
itu sehat sampai saat ini dan berusia 10 tahun.

”Meskipun masih jatuh bangun dalam usaha saya untuk bebas dari narkotika, saya bersyukur
kepada hamba Tuhan, Pdt. Suwito Njotorahardjo, almarhum ayahanda Pdt. Niko, yang mau
memberi kepercayaan luar biasa kepada saya. Meskipun dia tahu kondisi saya, namun
kepercayaan demi kepercayaan beliau berikan, itu semua karena Tuhan,” ungkap Risa.

Berkat didikan dan kepercayaan itulah membuat Risa memiliki bukan saja seorang gembala,
tetapi juga seorang mentor, orangtua, kakek, juga sahabat yang baik. Akhirnya pada tahun
1999 Risa meninggalkan pekerjaan sekulernya, meskipun ia memiliki posisi yang cukup baik
saat itu, dan kemudian memutuskan untuk melayani Tuhan sepenuh waktu. Baginya pelayanan
itu tidak dibatasi oleh paruh waktu ataupun penuh waktu, pelayanan adalah anugerah. Hidup
ini adalah kesempatan untuk memberi.

Sepeninggal Pdt. Suwito Njotorahardjo pada tahun lalu, Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
mempercayakan gereja yang telah digembalakan ayahnya sejak 14 tahun yang lalu kepada
Risa. Saat ini gereja itu beranggotakan hampir 7000 jiwa, dan ada 14 gereja yang harus
Risa gembalakan. Baginya itu adalah suatu tantangan yang luar biasa. Disamping doa dan
puasa serta dukungan dari isteri tercinta, kasih Belle yang bisa menerima Risa apa adanya
merupakan hal yang paling mengharukan.

Saat Belle berusia 17 tahun, ayah kandungnya menghubunginya untuk meminta dia kembali.
Dan pada peristiwa itu Belle mengatakan kepada ayah kandungnya bahwa dia tidak bisa
menerimanya kembali. ”Bagi saya itu adalah sesuatu yang luar biasa. Sekarang kalau Belle
ditanya dia akan menjawab bahwa dia bangga dengan saya saat ini.” kata Risa penuh bahagia.

Untuk mencapai kebahagiaan saat ini Risa harus rela mengalami banyak cobaan dan
kehilangan orang yang dicintai, termasuk kehilangan anak ketiganya dua tahun yang lalu,
Trifosa Shalom dalam usia dua minggu.

Kedua hamba Tuhan itu mengaku bahwa hari-hari ini mereka belajar bahwa Tuhan mengasihi
kita apa adanya, meskipun kita sering menyakiti hati-Nya. ”Saya belajar hal itu dari Elsa
dan Belle, saya bangga memiliki mereka.” ungkap Pdm. Risa sembari memeluk Elsa, isteri
tercintanya.


SHARED BY
Yunita Sitinjak

No comments:

Post a Comment