Friday, May 20, 2011

Gua Atheis Dan Mereka Kafir

Orang sering memanggil gua Tara padahal nama lengkap gua Dewantara Saputra. Saat ini gua kuliah di salah satu universitas swasta terkemuka di Jakarta. Mau di bilang pintar ngga juga. Mau di bilang ganteng, biasa saja. Tapi ada satu hal yang membuat gua jadi populer di kampus gua. Bukan karena gua berprestasi apa lagi karena gua playboy. Entah siapa yang pertama kali mempopulerkan nama gua yang baru. Tapi itulah yang membuat gua banyak dikenal. Dewa Atheis. Itulah julukan gua di kampus. Julukan yang awalnya sangat menggangu. Tapi pada akhirnya gua menikmati label tersebut.

Kalau mau cari gua di kampus, cukup bilang aja “si Atheis”, maka semua orang pasti kenal gua.

Ngga akan ada asap kalau ngga ada api. Meski gua terlahir dengan satu agama yang sudah menjadi turun temurun di keluarga gua. Tapi gua memutuskan untuk tidak percaya dengan yang namanya Tuhan.

Tapi gua ngga pernah menghina mereka yang percaya dengan yang namanya Tuhan. Meski di KTP gua tertulis kalau gua menganut satu agama tapi itu hanya sebagai status di negara yang bersilakan “ketuhanan Yang Maha Esa”.

Gua punya dua sahabat yang sangat dekat. Aisyah si cantik yang selalu mengenakan jilbab. Lalu ada Christian, si ganteng yang selalu mengenakan kalung salib. Dari ke dua simbol yang mereka kenakan, orang sudah tau pasti keyakinan mereka. Selama ini ngga pernah ada masalah antara kami bertiga meski keyakinan dan pandangan kami tentang Tuhan itu berbeda. Hidup adalah pilihan dan setiap orang punya hak untuk meyakini apa yang dipercayai sebagai sesuatu yang benar.

Perbedaan itu ngga menghalangi persahabatan kami bertiga. Kami saling menghormati antara satu degan yang lain. Seperti contoh, gua dan Christian ngga pernah menyentuh Aisyah sejak dia memutuskan memakai jilbab. Saat Christian merayakan Natal, ngga ada ucapan “selamat natal” dari Aisyah. Gua memaklumi itu karena menurut keyakinannya, itu ngga boleh. Tapi persahabatan ngga sekadar ucapan selamat tapi sebuah hubungan dan komunikasi yang dilandasi oleh kasih.

Bagi mereka berdua ngga masalah kalau gua ngga percaya dengan keberadaan Tuhan. Toh, itu urusan individu masing-masing. Untuk apa memiliki agama tapi pada kenyataanya tidak menjalankan apa yang diajarkan agama yang dianut. Hanya menjadi fanatik dengan agama tapi ngga tau tentang ajaran agama yang diyakininya.

Setiap pribadi yang mengakui keberadaan Tuhan pasti tau alasan mengapa mereka percaya yang namanya Tuhan.  Mereka juga punya cerita tentang pegalaman bagaimana mereka menyadari bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Bagi gua, persoalannya bukan agama tapi bagaimana agama itu sendiri bisa membantu kita mengenal Tuhan yang kita sembah.

Hanya saja gua belum percaya dengan yang namanya Tuhan. Mungkin untuk saat ini tapi saat gua menemukan alasan kenapa gua harus percaya dengan Tuhan pasti gua akan punya agama. Tapi biarkan gua dengan label “Dewa Atheis” yang gua sandang saat ini.

******

Bagaimana kedua sahabat gua bisa mengetahui kalau gua tidak mempercayai Tuhan itu sendiri?

Siang itu selesai kuliah, kami bertiga yang masih berstatus jomblo karena alasan masing-masing, nongkrong di sebuah kafe murah meriah yang letaknya ngga jauh dari kampus.  Tunggu dulu, kami jomblo bukan karena ngga laku. Tapi karena prinsip masing-masing. Christian sendiri belum mau pacaran karena belum siap nikah. Ya… Bagi dia pacaran untuk menju ke arah pernikahan. Jadi heran aja kalo ada yang pacaran tapi masih minta duit sama orang tuanya. Itu artinya biaya pacarannya dibiayai oleh orang tuanya. Please deh, emang mau ditraktir ama pasangan loe pakai duit orang tuanya pacar loe? Atau menerima kado yang dibeli dari hasil minta duit dari orang tua. Kalo gua, mending jangan kasih kado di saat gua ulang tahun kalo itu duit hasil merengek atau menipu orang tua agar dapat uang.

Kalo Aisyah, beda lagi. Menurut keyakinannya, tidak ada istilah pacaran. Kalau gua beda lagi, alasannya adalah gua belum menemukan gadis yang benar-benar sepaham dengan pola pikir gua.

Ok, balik lagi. Siang itu kami bertiga ngobrol panjang lebar. Membicarakan apa saja yang terlintas di pikiran kami saat itu.

“Gua ngga percaya dengan yang namanya Tuhan!”

Christian dan Aisyah menatap tajam gua. Christian melongo seperti orang bego. Mata Aisyah melotot secara spontan.

“Terserah loe berdua mau bilang gua Atheis atau Agnostik atau komunis. Ngga masalah bagi gua. Dan kalian berdua orang pertama yang tau tentang hal ini. Mulai sekarang kalo ada yang tanya agama gua apa? Maka gua akan menjawab, Atheis.”

Berhari-hari mereka memikirkan dan mendiskusikan hal ini. Bagaimana mungkin di negara yang berpancasila ini, gua bisa bangga mengaku sebagai seorang Atheis? Bukannkah sila pertama berbunyi, “ketuhanan yang Maha Esa ?”

Sejak hari itu gua memperkenalkan “agama” baru gua ke hampir semua orang yang gua kenal. Sehinga tidak heran kalau gua di kenal sebagai ‘Dewa Atheis’.

“Emang Tuhan ada di mana saat loe shalat atau beribadah di gereja?” tanya gua ke Christian dan Aisyah.

“Dimana-mana. Keberadaanya ada dimana-mana karena dia Maha Hadir,” jawab Christian.
“Setuju!” sahut Aisyah kemudian.

“Wouw! Tapi apa loe merasakannya? Merasakan kehadiran-Nya? Merasakan keberadaanya? Apa loe mengenal Dia? Apa loe sering berkomunikasi degan-Nya? Atau hanya loe sekadar menjalankan sebuah rutinitas ibadah? Salat lima kali sehari atau ke gereja setiap jam ibadah tapi tidak merasakan arti kehadiran Tuhan itu sendiri?  Atau hanya sekadar fanatik dengan agama loe karena doktrin yang sudah tertanam sejak kecil.”

“Emang Tuhan ngga bisa dilihat secara kasat mata tapi bisa dirasakan.”
“Disitulah persoalannya, Aisyah! Banyak orang yang beragama tapi tidak merasakan Tuhan itu sendiri. Katanya Tuhan ada di mana-mana tapi buat dosa di mana-mana juga.”
Itulah pandangan gua. Dan terlalu banyak lagi teori-teori yang selalu gua kemukakan sebagai pondasi keyakinan gua itu.

*****

Hari ini ada yang berbeda dengan Christian dan Aisyah. Gua ngga tau kenapa tapi selama kelas berlangsung gua merasakan sesuatu yang aneh dalam diri mereka. Mungkin inilah yang disebut insting seorang sahabat.

“Mhmmm… Gua mau kasih kabar gembira buat loe nih! Tapi gua bingung harus ngomong apa!” Ucap Christian dengan tingkah anehnya.

“Kenapa loe? Ngomong aja. Kayak orang asing aja.”

“Gua ama Aisyah udah jadian….”

“What?” Gua memotong kalimat Christian. “Tapi kaliankan beda keyakinan? Bukankah itu dilarang dalam agama kalian?”

Keduanya hanya diam. Ah… Kalau sudah cinta, tai kucing pun terasa coklat! Kalau udah benci coklat pun terasa tai kucing! Sebegitu besarkah yang namanya kekuatan cinta sehingga masalah agama pun tidak lagi dipermasalahkan.

Harus gua akui banyak kalangan artis mau pun rakyat biasa yang menikah meski berbeda keyakinan namun tetap rukun-rukun saja. Tapi bagaimana dengan anak mereka nantinya? Okelah mereka bisa memilih akan ikut keyakinan ayahnya atau ibunya. Tapi saat mereka masih kecil, apa mereka sudah bisa memilih?

Hari jumat si anak laki-laki ke masjid untuk shalat jumat lalu hari minggunya ke gereja. Bagaimana mereka bisa mengerti akan perbedaan saat mendengar kisah Abraham atau Ibrahim yang mengorbankan anaknya? Alkitab mengatakan itu adalah Ishak sementara Al-Quran mengatakan itu adalah Ismail. Bukan masalah yang mana benar dan salah. Tidak sama sekali. Tapi jawaban apa yang harus dipersiapkan agar tidak ada pembenaran secara sepihak dan menjatuhkan keyakinan orang lain. Itu belum menyangkut keluarga masing-masing. Apakah pasangan yang beda keyakinan benar-benar bahagia? Atau kebahagian itu ada namun tersimpan satu keinginan di hati agar pasanganya satu hari nanti akan mengikuti keyakinannya.

“Begini, gua akan ke salah satu pesantren untuk belajar tentang Islam. Sementara Aisyah akan belajar tentang agama gua ama salah satu pendeta di Gereja gua,” ucap Christian.
“Apa kata keluarga kalian nantinya? Dan sampai kapan kalian akan seperti ini?” tanya gua.

“Untuk saat ini, kami merahasiakan tentang hal ini kepada mereka. Kami berdua sudah sepakat kalau selama 3 bulan ini gua akan mempelajari tentang Islam dan sebaliknya.”
“Gua rasa kalian sudah dewasa untuk menentukan arah tujuan hidup kalian. Kalian sudah tau pilihan mana yang harus kalian buat. Sebagai sahabat, gua Cuma mau bilang. Jangan pernah melecehkan atau menjatuhkan keyakinan orang lain.”

Gua meninggalkan kedua sahabat gua dan menuju ke perpustakaan kampus.

*********

3 bulan kemudian.

Gua menatap Aisyah lalu Christian. Kali ini mereka benar-benar berbeda. Bukan Aisyah yang dulu lagi. Bukan Christian yang pernah gua kenal. Karena penampilan baru mereka berdua membuat satu kampus heboh. Orang-orang tidak lagi membicarakan dan menyudutkan gua dengan pilihan gua untuk menjadi seorang Atheis.

Aisyah tidak lagi mengenakan jilbabnya. Christian tidak lagi mengenakan kalung salib yang selalu dikenakanya selama ini. Mereka berubah bukan karena gua berhasil mempengaruhi pola mereka tentang ketidak beradaan Tuhan. Gua cukup menghargai keyakinan mereka selama ini. Bagi gua perbedaan itu indah jika saling mengerti dan toleransi. Perbedaan hanya akan menjadi masalah ketika itu dipermasalahkan.

“Tara mulai saat ini loe harus memanggil nama baptis gua, Maria. Nama gua sekarang Maria Aisyah.”
“Dan gua Ahmad Christian. Panggil gua Ahmad.”

Gua benar-benar ngga percaya dengan apa yang gua dengar! Jadi mereka murtad? Kafir? Entah apa lagi sebutan untuk mereka yang pindah agama.

“Lalu bagaimana dengan hubungan kalian berdua?”

“Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kami,” ucap Aisyah sambil membenarkan rambutnya yang tertiup angin.

“Gua tidak punya hak untuk mencampuri urusan pribadi kalian berdua. Tapi kalau gua bisa beri saran, jalani dengan sepenuh hati apa yang kalian yakini. Jangan seperti layang-layang yang putus yang ngga tau arah tujuannya. Setiap pilihan ada konsikuensinya. Hadapi resiko yang ada karena itulah hidup.”

Ah…. Kali ini gua meninggalkan mereka berdua dengan satu doa “Tuhan… Yang mana harus ku pilih?” Sebuah doa yang berisi pertanyaan. Sebuah doa yang gua panjatkan entah untuk Tuhan yang mana. Sebuah doa yang telah lama hilang dari hati dan bibir gua. Sebuah doa yang lahir dari sebuah kegelisahan akan hadirnya Tuhan. Entah kapan, doa itu akan terjawab. Hanya waktu yang akan menceritakannya. Andai saja dulu gua ngga pacaran dengan Agnes yang juga atheis, mungkin gua ngga akan seperti ini. Kadang cinta melumpuhkan logika dan cinta sanggup mengubah banyak hal termasuk masalah Tuhan.

TAMAT


SHARED BY
Al.Kira


WRITTEN BY
Dewa Klasik

No comments:

Post a Comment